Sembilan belas tahun yang lalu, ketika saya menjadi mahasiswa di Jogja, saya kerap menjelajah berbagai perpustaakan yang tersedia di kota tersebut. Perpustakaan menjadi semacam masjid kedua untuk kami para mahasiswa. Tempat ngadem dan uzlah mencari ketenangan dan kekhusukkan. Sensasi memasuki perpustakaan juga memberikan efek magis dalam jiwa. Memasuki sebuah perpustakaan semacam melakukan perjalanan dengan penuh kekaguman. Kekaguman dengan berderet-deret karya manusia yang dipenuhi dengan kompleksitas ide, kemudian merambah pada bau khas buku-buku kuno yang kertasnya nyaris lapuk di makan usia, yang pengalaman ini semua tidak akan kita rasakan ketika berselancar di dunia maya melalui perpustakaan digital. Kesendirian di perpustakan juga menjadi semacam ibadah yang dirindukan. Membuka lembar demi lembar kertas pemikiran manusia diantara tumpukan-tumpukan buku yang lainnya adalah sebuah pengalaman yang taktergantikan. Begitu pula, perjalanan dari perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya meninggalkan kenangan yang takterbantahkan. Setiap kali memasuki perpustakaan Kolese St. Ignatius Jogja misalnya (sebuah perpustakaan biara frater dan uder Serikat Yesus yang menempuh pendidikan Teologi.) menjadi tempat berteduh favorit di kala ingin bermeditasi dengan perasaan, lebih-lebih ketika mengalami patah hati khas gejolak asmara mahasiswa, tempat ini menjadi semacam obat sekaligus objek meditasi yang tepat untuk latihan menjernihkan pikiran. Ruang perpustakaan memang tidak begitu luas, dan hanya buku-buku induk semacam jurnal, kamus, dan ensiklopedi yang tersedia dalam deretan rak-rak ruangan tersebut. Merujuk pada tribun Jogja (30 Juli 2020) perpustakaan kolese st. Ignatius menyimpan kurang lebih 150.000 buku dari beragam bidang, dari literatur akademik, filosofi, agama, hingga politi / k. / Tetapi yang menarik disini adalah, buku buku tersebut terletak dilantai bawah, dan pengunjung tidak perlu masuk kesana, / bersusah-susah mencari buku yang kita inginkan. Cukup mencari di computer yang disediakan, cetak dan serahkan nota itu kepada petugas perpustakaan. Merekalah yang justru akan mencarikan buku yang kita inginkan. Benar-benar menyenangkan. Entahlah kalau saat ini. Bagi seorang muslim seperti saya memasuki perpustakaan st. Kolase Ignatius menjadi semacam sensasi yang luar biasa. Ketika melangkahkan kaki untuk pertama kalinya memasuki bangunan khas kristiani yang tampak singup, dan kerap kali berpapasan dengan pastur-pastur itu yang hendak meminjam buku juga, ini menjadi sensasi keagamaan yang sulit dilukiskan. Di perpustakaan ini lah pertama kalinya saya berkenalan dengan Leo Tolstoy, sastrawan Rusia lewat karyanya Kebangkitan yang bila kita membaca lembar demi lembar buku tersebut, Tolstoy ingin memperlihatkan kepada kita dampak buruk sosialisme di Rusia. Bagaimana kaum kapitalis kaya memanfaatkan kaum miskin untuk semakin mempertajam kekayaannya, sementara sebagian besar penduduk kelaparan dan hidup dalam kemiskinan. kita juga akan merasakan romantisme perasaan manusia melalui tragedy-tragedi, dendam, dan keterpurukan melalui tokoh tokoh utama yang diceritakan oleh Tolstoys yaitu Nekh dov dan Katyusha. Nekh dov adalah seorang bangsawan kaya yang sedang memperbaiki kejahatannya di masa lalu dengan Katyusha, seorang gadis muda yang dia rayu di masa lalu, dan menjadi pelacur akibat kejadian itu). Di perpustakan ini pula, pertama kalinya saya membaca karya Alfu Lailah wa Lailah , karya sastra Arab yang luar biasa tebal berjilid-jilid yang menceritakan kebuasan seorang raja, kecerdikan seorang anak manusia menghadapi emosi seorang raja, dan petualangan seorang Sinbad yang meaningful dan full of imagination. Kebesaran dan keangkuhan budaya Arab era Abbasiyah menjadi daya tarik buku ini. Selain perpus utama, Kolase St.Ignatius juga mempunyai cabang kedua, yang letaknya di Jalan Kali Urang, lebih menarik lagi. Saya tidak menyangka bila perpustakaan itu justru berada di bagian dalam sekolah seminari, lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon pastor (dalam bahasa saya adalah sekolah untuk menjadi kyai ). Tentu saja memasuki pertama kali menjadi pengalaman yang takterlupakan. Ruang sekolah yang nampak bersih dan redup. Menyaksikan calon-calon pastor itu juga pemandangan yang mengaksyikkan. Saya selalu menerka-nerka, bagaimana pemandangan mereka tentang Islam dan saya yang mengenakan jilbab memasuki asrama mereka. Dan sekali lagi terkagum kagum dengan deretan buku islamologi yang berjejer disana. Saya hanya berdecak kagum sembari memikirkan, apakah mungkin ada buku buku kristiani di sekolah-sekolah Islam, semacam pesantren misalnya. Sangat mustahil. Beranjak ke perpus eksotis lainnya di jogja yaitu, perpustakaan daerah Yogyakarta. Saya sempat menangi perpustakaan itu kala perpustakaan itu masih terletak di jalan Malioboro tepatnya berjejer jejer dengan ruko-ruko tempat orang berjualan. Bahkan di depan perpustakaan itu terdapat kios kios pedagang kaos dan lain. Lain. Beberapa tahun kemudian perpustakaan itu dipindah. Bangunan tampak luar, sebagaimana Ignatius, tidak seperti pepustakaan, bahkan orang bisa jadi tidak nggalebo , tidak tahu kalau itu sebuah perpustakaan, bila tidak membaca papan namanya. Selain buku-buku lawas, kliping-kliping lawas pun masih nampak rapi. Saya tidak tahu, akankah orang orang masih mau membuka buka lagi kliping tersebut yang dalam kacamata filolog, ini justu surga dunia. Disini pun, saya memungut kenangan yang takterlupakan tentang sebuah buku. Adalah Karl May, seorang penulis Jerman yang terkenal dengan karya masterpiece winnetou . Penulis yang lewat karya karya ingin menyerukan perdamaian untuk seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku atau agama. Waktu itu kebahagian yang takterkira saya menemukan winnetou cetakan lama, dalam bentuk seri terpisah pisah dan kertasnya sudah sangat lawas. Lewat buku itu pertama kalinya muncul keinginan untuk melanjutkan studi ke Jerman, meski sampai sekarang impian itu masih terkatung-katung. Kenangan lainnya, saya pungut juga ketika perpusda ini sudah berpindah. saya masih beberapa kali maen mendatangi perpusda itu. Di gedung yang baru, disana pertama kalinya saya membaca buku memoirs of geisha karya Arthur Golden penulis Amerika. Geisha adalah wanita yang menjajakan dirinya tetapi untuk kalangan menengah keatas, raja dan para pejabat. Dan masih banyak lagi buku-buku yang saya sengaja menikmatinya di perpustakaan. Sebagaimana makan bakso, dibungkus dengan makan ditempat, sensasinya berbeda. Selain dua perpustakaan di atas, tentu perpustakaan yang berada di kampus juga menjadi destinasi yang takbisa terlewatkan. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga yang menyimpan banyak buku buku koleksi keislaman, Pepustakaan UGM yang tutup hingga larut malam, menjadi semacam markas yang menarik juga pun perpustakaan ndash perpustakaan lainnya. Saya tidak tahu akankah generasi sekarang masih senang berjelajah ke berbagai perpusatakan untuk sekedar membaca, atau melihat-melihat deretan buku buku itu. Atau mereka sudah merasa cukup dengan hadirnya perpustakaan digital yang bisa diakses dimanapun dan kapanpun.
137
next post